UU cipta kerja

UU Cipta Kerja, Omnibus Law yang telah Disahkan

Ada dua peraturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia saat ini, yaitu UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang kedua adalah UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Karena UU No 6 Tahun 2023 berawal dari UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 yang direvisi menjadi Perppu No 2 Tahun 2022, maka kita bisa menyebutnya UU Cipta Kerja 2023. Untuk memahami poin terbaru dari undang-undang ketenagakerjaan ini, simak penjelasan selengkapnya.

UU cipta kerja

Sumber: Freepik

Definisi Omnibus Law

Omnibus law juga bisa disebut sebagai metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana esensi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket hukum. Sementara itu, Omnibus Law Ciptaker merupakan salah satu regulasi yang dibukukan dalam Omnibus Law. Terdapat tiga aturan yang tercantum dalam metode hukum ini. Selain Ciptaker, ada juga regulasi terkait Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, serta Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dari ketiganya, UU Ciptaker paling banyak menuai sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal-pasal kontroversial yang merugikan para buruh dan hanya mementingkan kepentingan investor.

Poin Terbaru UU Cipta Kerja 2023

Jika disandingkan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Cipta Kerja ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan. Ada perubahan dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003. Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan 13/2003:

A. Jam Kerja/Hari Libur

Poin terkait aturan jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:

1. Jam Kerja

Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Pada UU sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

2. Hari Libur Mingguan

Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja. Artinya, dalam seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari.Hal ini berbeda dengan UU 13/2003 yang mencantumkan bahwa istirahat mingguan sesuai Pasal 79 ayat (2) huruf b ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

3. Istirahat Panjang

Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang. Jadi, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus yang selama ini berlaku di UU sebelumnya itu diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.

4. Cuti Haid

Tidak tercantum cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua. Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan. Dalam Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja/buruh wanita wajib mendapat cuti selama masa haid dan dibayar upah.

5. Cuti Hamil-Melahirkan

Tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan. Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti hamil-melahirkan diubah atau dihilangkan. Pada UU sebelumnya Pasal 82, diatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

6. Hak Menyusui

Tidak tercantum mengenai hak menyusui.Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait hak menyusui diubah atau dihilangkan. Sebelumnya dalam Pasal 83 UU 23/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

B. Status Pekerja/Karyawan

Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Artinya, tidak ada batasan aturan pekerja bisa dikontrak alias status kontrak tanpa batas. Pasal dalam UU 13/2003 yang dihapus ini adalah Pasal 59, yang mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

Jika mengacu pada penjelasan Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal 3 tahun, dan setelah itu dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan. Namun, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan dalam laman media sosialnya bahwa status PKWT dan PKWTT tetap ada.

C. Upah

Sementara itu aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, di antaranya:

  1. Upah minimum
  2. Struktur dan skala upah
  3. Upah kerja lembur
  4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
  5. Bentuk dan cara pembayaran upah
  6. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
  7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan pengupahan. 4 ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
  2. Upah untuk pembayaran pesangon
  3. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
  4. Denda dan potongan upah

1. Upah Satuan Hasil dan Waktu

Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu. Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk juga upah per jam. Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

2. Upah Minimum

Di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi (UMP). Artinya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tidak digunakan lagi. Sehingga penentuan upah minimum berdasarkan provinsi atau gaji UMP.

3. Rumus Penghitungan Upah Minimum

Dalam menghitung besar upah minimum, dalam UU Cipta Kerja digunakan rumus:

UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)

Keterangan:

UMt: Upah minimum tahun berjalan

PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan

Tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

Rumus penghitungan upah minimum dalam UU 13/2003 adalah:

UMt + {UMt, x (INFLASIt + % Δ PBDt)}

Keterangan:

UMt: Upah minimum yang ditetapkan

UMt: Upah minimum tahun berjalan

INFLASIt: Inflasi tahunan

Δ PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan

4. Bonus

Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja diatur mengenai pemberian bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai masa kerjanya. Sementara itu dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tidak diatur terkait dengan pemberian bonus ini.

5. Penghapusan Upah Minimum bagi UMKM

Berdasarkan UU Cipta Kerja, pemerintah kini mengecualikan pemberian upah minimum untuk pengusaha mikro dan kecil. Ini tercantum dalam Pasal 90B UU Cipta Kerja yang berbunyi:

“Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (21 dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.”

Menurut pasal tersebut, upah karyawan dari usaha mikro dan kecil bergantung pada kesepakatan antara pemberi kerja dan karyawan.

D. Pesangon

UU cipta kerja

Sumber: iStockPhoto

Berikut beberapa poin mengenai uang pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan:

1. Uang Penggantian Hak

Tidak ada uang penggantian hak dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengenai uang penggantian hak ini diatur dalam Pasal 154 ayat (4).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja

Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebelumnya, dalam UU 13/2003 ini terkait pemberian uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah, yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

3. Uang Pesangon

Terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

  • Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
  • Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
  • Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
  • Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal
  • Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebagai berikut:

  • Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).
  • Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).
  • Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)
  • Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.
  • Uang Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

E. Jaminan Sosial

Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 diantaranya:

1. Jaminan Pensiun

Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.

2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan perusahaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Jaminan kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 13/2003.

F. PHK

Berikut perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU Ketenagakerjaan ini.

Dalam UU 13/2003, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya:

  • Perusahaan bangkrut
  • Perusahaan tutup karena merugi
  • Perubahan status perusahaan
  • Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
  • Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
  • Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
  • Pekerja/buruh mengundurkan diri
  • Pekerja/buruh meninggal dunia
  • Pekerja/buruh mangkir

Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin lagi, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memperbolehkan perusahaan melakukan PHK, yaitu:

  • Perusahaan melakukan efisiensi
  • Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
  • Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  • Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
  • Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan

Kelola Administrasi Karyawan dengan BroadwaysHR

Itulah poin-poin dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 yang perlu diketahui dan dipahami. Baik pekerja pada umumnya, maupun secara khusus bagi Anda yang bekerja di bagian pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Resources (HR) dalam perusahaan. Dalam mengelola segala administrasi karyawan, tentunya HR memerlukan program untuk membantu dalam menyelesaikan tugasnya.

UU cipta kerja

BroadwaysHR adalah salah satu solusi untuk membantu HR dalam mengatur segala administrasi yang berkaitan dengan perusahaan. Pada fitur Employee Self Service, karyawan dapat mengakses berbagai data dan transaksi terkait perusahaan secara daring lewat gawai masing-masing di mana saja dan kapan saja. Segera registrasi di sini dan dapatkan uji coba GRATIS selama 30 hari di BroadwaysHR.