
HR Harus Tahu! 6 Poin Penting dalam Omnibus Law Cipta Kerja
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja secara resmi telah merubah dan menghapus beberapa poin yang ada di UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Walaupun banyak dikecam karena memuat poin-poin yang cukup kontroversial dan dianggap merugikan karyawan, tapi pada akhirnya UU Cipta Kerja tersebut telah disetujui oleh DPR pada tanggal 21 Maret 2023 lalu. Lalu apa saja isi dan poin-poin yang ada di dalamnya? Daripada penasaran, langsung saja simak informasi selengkapnya berikut ini.
Isi Omnibus Law Cipta Kerja
Sebelum akhirnya disahkan, UU Cipta Kerja sempat mengalami beberapa pergantian. Awalnya, RUU Cipta Kerja pertama kali diresmikan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Selang 2 tahun kemudian, UU tersebut diganti menjadi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2020.
Hingga akhirnya pada tanggal 21 Maret 2023, DPR mengesahkannya kembali dan mengganti Perppu tersebut menjadi UU Cipta Kerja. Lalu apa saja isi dari Omnibus Law Cipta Kerja tersebut? Sebenarnya, tidak ada perubahan yang signifikan di dalam pengesahaan UU Cipta Kerja terbaru tersebut. Beberapa poin di dalamnya secara umum membahas 11 klaster yang di antaranya adalah sebagai berikut.
- Penyederhanaan perizinan berusaha
- Persyaratan investasi
- Ketenagakerjaan
- Kemudahan dan perlindungan UMKM
- Kemudahan berusaha
- Dukungan riset dan inovasi
- Administrasi pemerintahan
- Pengenaan sanksi
- Pengadaan lahan
- Investasi dan proyek pemerintahan
- Kawasan ekonomi
Perlu Anda tahu bahwa sebelas klaster yang tertulis di atas memuat ratusan pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
Baca juga: Perjanjian Kontrak Kerja di Indonesia: Jenis dan 6 Syaratnya
Poin-Poin dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa UU Omnibus Law memuat perubahan dan penghapusan beberapa poin tertentu yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Perubahan poin-poin tersebut berhubungan dengan aturan tentang jam kerja/hari libur karyawan, status pekerja, pengupahan, pesangon, jaminan sosial, hingga regulasi pemutusan hubungan kerja. Rinciannya dapat Anda baca sebagai berikut.
1. Jam Kerja dan Hari Libur
Jam Kerja
Perubahan jam kerja lembur ditetapkan dari yang sebelumnya maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
Hari Libur Mingguan
Hari libur mingguan ditetapkan hanya 1 hari untuk 6 hari kerja. Hal ini berbeda dengan ketentuan di UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang memberikan opsi pada perusahaan untuk memberikan jatah libur mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja atau 2 hari untuk 5 hari kerja.
Istirahat Panjang
Perusahaan tidak wajib memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja atau buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun berturut-turut dalam instansi yang sama.
Cuti Haid
Pasal terkait cuti haid belum bisa dipastikan apakah diubah atau dihilangkan meskipun aturan tentang hal ini sudah tidak tercantum di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Cuti Hamil dan Melahirkan
Aturan tentang cuti hamil dan melahirkan juga tidak tercantum di dalam UU Cipta Kerja terbaru, sehingga belum bisa dipastikan apakah ada perubahan atau memang kebijakan terkait hal ini telah dihapus.
Hak Menyusui
Sama halnya dengan cuti haid, hamil, dan melahirkan, aturan tentang hak menyusui bagi ibu yang telah melahirkan juga tidak tercantum di dalam UU Cipta Kerja terbaru.
2. Status Karyawan
Pada UU sebelumnya, menyebutkan bahwa aturan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja ditetapkan maksimal 2 tahun dan bisa diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Setelahnya, karyawan tersebut harus diangkat menjadi karyawan tetap atau diberhentikan saat kontrak tahun ketiga berakhir.
Namun, pada UU Cipta Kerja, aturan mengenai status karyawan PKWT tersebut telah dihapus sehingga tidak ada ketentuan tertentu yang mengatur tentang syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
3. Pengupahan
Sebelumnya, aturan pengupahan terdiri dari 11 kebijakan, tapi pada UU Cipta Kerja terbaru diubah menjadi 7 kebijakan saja yang terdiri dari:
- Upah minimum
- Struktur dan skala upah
- Upah kerja lembur
- Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
- Bentuk dan cara pembayaran upah
- Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
- Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya
Sedangkan 4 kebijakan yang dihapus meliputi upah karena menjalankan hak istirahat kerja, pembayaran pesangon, penghitungan PPh, serta denda dan potongan upah.
4. Pesangon
Aturan tentang pemberian pesangon juga mengalami banyak perubahan. Jika sebelumnya pekerja berhak mendapatkan uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja. Hal tersebut sudah dihapus di dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, kebijakan terkait uang pesangon ditetapkan sebagai berikut.
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
- Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.
5. Jaminan Sosial
Kebijakan yang mengatur tentang jaminan sosial ditetapkan sebagai berikut.
Jaminan Pensiun
Perusahaan tidak akan terkena sanksi pidana apabila tidak mengikutsertakan pekerja atau buruh ke dalam program jaminan pensiun. Padahal, pada UU tenaga kerja sebelumnya mengatur bahwa perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Terdapat program jaminan sosial baru yang bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan perusahaan dengan mengedepankan prinsip asuransi sosial.
6. Kebijakan PHK
Pada UU sebelumnya, pemutusan hubungan kerja bisa dilakukan karena 9 alasan tertentu. Namun, kebijakan tersebut berubah dengan menetapkan 14 alasan yang memungkinkan perusahaan untuk mengakhiri kerja sama dengan karyawan. Keempat belas alasan tersebut adalah sebagai berikut.
- Perusahaan bangkrut
- Perusahaan tutup karena merugi
- Perubahan status perusahaan
- Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
- Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
- Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
- Pekerja/buruh mengundurkan diri
- Pekerja/buruh meninggal dunia
- Pekerja/buruh mangkir
- Perusahaan melakukan efisiensi
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
- Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
- Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
Baca juga: 6 Jenis Hak Cuti Karyawan dan Cara Mengajukannya
Perusahaan kini bisa menetapkan kebijakan dan peraturan baru berdasarkan regulasi yang tertulis di dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Demi transparansi dan sosialisasi kebijakan yang menyeluruh, perusahaan sebaiknya memuat peraturan tersebut ke dalam aplikasi HRIS yang bisa diakses oleh seluruh pegawai internal dalam organisasi.
Untuk mewujudkan kemudahan tersebut, BroadwaysHR hadir dengan menawarkan fitur Employee Self Service yang memungkinkan semua karyawan untuk mengakses berbagai data dan transaksi terkait perusahaan secara online lewat gawai masing-masing di mana saja dan kapan saja.
Percayakan sistem HRIS dan pengelolaan SDM perusahan Anda hanya kepada BroadwaysHR! Klik di sini untuk terhubung dan berkonsultasi dengan tim kami dan jangan lewatkan layanan coba gratis aplikasinya selama 30 hari dengan mendaftar sekarang juga!